SUKU ANAK DALAM DAN DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP KEHIDUPAN SUKU ANAK DALAM

| | Comments: (1)
SUKU ANAK DALAM
DAN DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP KEHIDUPAN SUKU ANAK DALAM



Disusun oleh :
ARIF SETIAWAN (07413241019)


PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Suku Anak Dalam yang mempunyai sebutan lain seperti Suku Kubu dan Orang Rimba merupakan salah satu dari keberagaman suku yang ada di republik Indonesia. Suku anak dalam secara tradisional hidup di kawasan pulau Sumatera bagian tengah yang tercakup dalam wilayah administratif provinsi Jambi. Mereka tersebar di berbagai lokasi yang berbeda-beda, misalnya di selatan sungai Tembesi, di antara sungai Tembesi dan Merangin, di Taman Nasional Bukit Duabelas, dan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jumlah keseluruhan Orang Rimba diseluruh lokasi berkisar antara 2000 sampai 3000 kepala keluarga, atau sekitar 17.000 jiwa Mereka terdiri dari kelompok-kelompok berbeda dibawah temenggung atau kepala suku yang berbeda pula.
Ketertarikan saya dalam mengkaji Suku Anak Dalam dikarenakan gaya hidup mereka yang masih tradisional. Mereka masih berburu, memungut, dan meramu hasil hutan. Tapi ada juga sebagian kecil dari mereka telah berladang. Oleh masyarakat luas mereka dikenal sebagai kelompok yang suka berpindah-pindah. Namun tidak seperti yang diduga banyak orang, mereka tidak berpindah secara terus menerus sepanjang waktu. Pada dasarnya mereka menetap. Mereka hanya berpindah apabila terjadi kematian salah satu anggota kelompoknya saja atau bila ada penyakit yang mewabah. Dari kehidupan mereka yang masih tradisional dan masih bergantung pada hasil hutan, ternyata mereka juga harus menghadapi berbagai tantangan modernisasi.








BAB II
PEMBAHASAN

Suku Anak Dalam yang mempunyai nama lain Suku Kubu dan Orang Rimba, hidup di kawasan pulau Sumatera bagian tengah yang tercakup dalam wilayah administratif provinsi Jambi. Mereka tersebar di berbagai lokasi yang berbeda-beda, misalnya di selatan sungai Tembesi, di antara sungai Tembesi dan Merangin, di Taman Nasional Bukit Duabelas, dan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Populasi terbesar Suku Anak Dalam berada di Taman Nasional Bukit Dua Belas. Sebenarnya Suku Anak Dalam lebih suka dipanggil sebagai Orang rimba, karena sebutan Orang Rimba menjurus kepada identitas mereka sebagai orang yang hidup di dalam rimba. Sedangkan sebutan Suku Anak Dalam merupakan sebutan yang digunakan oleh pemerintah dan sebutan ini yang paling popular di kalangan masyarakat. Dan untuk sebutan Suku Kubu, sebutan ini digunakan oleh masyarakat Melayu dan masyarakat internasional.
Hingga kini, tidak diketahui secara pasti asal muasal Suku Anak Dalam. Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.Versi lain adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajahan Belanda. Orang belanda disebutnya orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).:
Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Putri Selaras Pinang Masak.Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindarkan rasa malu, mereka mencari tempat tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama makin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak Dalam.
Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.
Hutan adalah ruang hidup Suku Anak Dalam. Hutan merupakan rumah, sumber penghidupan dan perlindungan bagi Suku Anak Dalam. Hutan adalah tempat anak-anak rimba tumbuh berkembang menjadi manusia yang arif terhadap alam. Dalam keteduhan pepohonan, Suku Anak Dalam menganyam kehidupan mereka. Sebagai masyarakat hutan, Suku Anak Dalam telah sejak dulu membedakan berbagai area hutan yang memiliki nilai kemanfaatan berbeda. Misalnya ada area yang dinamakan halom bungaron, yaitu kawasan hutan yang masih utuh dan memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi. Area ini nyaris tidak dimanfaatkan oleh Suku Anak Dalam. Lalu ada halom balolo dan ranah yang merupakan kawasan dimana Suku Anak Dalam biasa berburu dan mengambil berbagai hasil hutan. Kemudian ada area halom benuaron dan humo yang dimanfaatkan untuk berladang. Bila digambarkan dengan lingkaran-lingkaran, maka halom bungaron adalah lingkaran terdalam, dibagian luarnya adalah halom balolo, dan terluar adalah halom benuaron. Tempat berladang Suku Anak Dalam tersebar di pinggir dan di dalam kawasan hutan. Suku Anak Dalam sangat mengenal hutan dan isinya, mereka memanfaatkan berbagai tumbuhan dan hasil hutan yang terdapat di dalam hutan untuk memenuhi kehidupan mereka. Hutan merupakan habitat bagi Suku Anak Dalam, Rumah tempat mereka tinggal yang biasa disebut sudung, hanya terdiri dari atap rumbia, dengan lantai anak kayu, dan tanpa dinding. Di sudung inilah mereka berkumpul bersama keluarga, bahkan dengan hewan-hewan piaraan pula. Berikut adalah tujuh unsur kebudayaan yang terdapat pada Suku Anak Dalam.
1. Sistem Religi dan Alam Pikiran.

Mayoritas penduduk suku anak dalam menganut animisme dan dinamisme. Dan sebagian kecil dari mereka sudah mengenal agama. Dari hal ini bisa dilihat bahwa orang Suku anak dalam yang menganut animisme dan dinamisme kehidupan mereka masih sangat tradisional. Mereka tidak terlalu terbuka terhadap orang luar, hubungan terhadap orang luar Cuma sebatas permasalahan ekonomi saja. Berbeda dengan orang suku anak dalam yang mengenal agama, kehidupan mereka mulai tersentuh oleh peradaban, dan mereka lebih terbuka terhadap orang luar. Mereka mulai dikenalkan kegunaan berbagai teknologi yang ada di jaman modern ini. Dan yang lebih terutama orang suku anak dalam yang mengenal agama biasanya lebih ramah dan sopan ketimbang suku anak dalam yang menganut animisme dan dinamisme.

2. Mata Pencaharian

Mata pencaharian suku anak dalam sesuai dengan nama lain mereka Orang Rimba yaitu orang yang hidup di dalam rimba atau hutan, kehidupan mereka sangat tergantung pada hasil hutan. Mereka masih berburu, memungut, dan meramu hasil hutan, tetapi ada juga sebagian kecil dari suku anak dalam yang berladang. Dan biasanya suku anak dalam yang berladang tinggalnya di pinggiran hutan atau dekat dengan pemukiman penduduk.

Berbagai tumbuhan di dalam hutan dimanfaatkan oleh suku anak dalam baik untuk keperluan mereka sendiri maupun untuk dijual. Mereka menggunakan segala yang ada dihutan secara intensif. Ada pohon yang khusus diambil buahnya untuk dimakan, ada pohon yang diambil getahnya untuk dijual, ada yang diambil daunnya untuk atap, ada yang diambil akarnya untuk tuba, ada yang diambil batangnya untuk rumah dan sebagainya. Suku anak dalam juga terkenal akan kepandaiannya berburu, mereka biasanya berburu dan hasil buruannya mereka konsumsi sendiri. Binatang yang menjadi buruan orang rimba antara lain; babi hutan, kancil, rusa, kijang, kelelawar, ular, biawak dan bahkan beruang. Banyak binatang air yang dimanfaatkan oleh suku anak dalam. Berbagai jenis ikan, seperti ikan huloton, limbat, ikan tano dan semacamnya dipancing untuk diijadikan lauk. Demikian juga berbagai jenis siput dan katak mereka makan.

3. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan suku anak dalam adalah matrilineal yang sama dengan sistem kekerabatan budaya Minangkabau..Suku anak dalam tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh suklu anak dalam .Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok.
Ada tiga jenis perkawinan yang dikenal oleh suku anak dalam, yaitu;
a. Pertama, dengan mas kawin

b. Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya.

c. Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut

Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin utama dalam struktur kelompok., yang posisinya diwarisi sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi, jika pemimpin tidak sesuai atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin bisa diganti melalui jalur “diskusi terbuka” atau forum yang bisa dilakukan dimana mana.

4. Teknologi

Orang suku anak dalam umumnya masih memakai peralatan tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidupnya Untuk memburu, membuka ladang, menebang pohon, dan lain-lain mereka memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi. Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan. Sebelum memiliki kain untuk membuat cawat (kancut) orang suku anak dalam membuat cawat dari kulit kayu yang dipukul-pukul hingga lembut. Sudah lama laki-laki memakai cawat dari kain dan perempuan memakai kain panjang yang dikenakan dari pusar sampai di bawah lutut atau kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu merupakan pakaian tradisional orang Rimba yang memudahkan mereka bergerak cepat di dalam hutan, karena mereka perlu untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindari dari hal-hal yang berbahaya. Rumah tempat mereka tinggal yang biasa disebut sudung, hanya terdiri dari atap rumbia, dengan lantai anak kayu, dan tanpa dinding. Di sudung inilah mereka berkumpul bersama keluarga

5. Kesenian

Mengetahui tarian, dan nyanyian, dari suku anak dalam sulit sekali. Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara dari suku anak dalam yang tidak terbuka bagi orang luar. Ada beberapa ciri khas dari suku anak dalam, yang mungkin juga disebut kesenian dari suku anak dalam, yang antara lain;
a. Budaya Melangun
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
b. Seloko dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa .
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai).
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih
c. Besale
Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.

6. Bahasa

Bahasa suku anak dalam mempunyai kesamaan dengan bahasa suku Minangkabau, mungkin ini disebabkan karena asal-usul mereka yang menurut para ahli sejarah dan antropolog adalah berasal dari nenek moyang yang sama.

7. Sistem Ilmu Pengetahuan
Sistem ilmu pengetahuan dari suku anak dalam masih sederhana, biasanya orang-orang suku anak dalam memperoleh ilmu dari orang tua mereka, seperti ilmu berburu, mengenal berbagai jenis tanaman, dan hukum-hukum adat. Tetapi seiring perkembangan jaman, pendidikan modern mulai masuk ke dalam kehidupan suku anak dalam, banyak anak-anak dari suku anak dalam baik laki-laki maupun perempuan sudah mengenal sekolah dan menyalurkan antusias belajarnya disana. Para anak-anak itu belajar membaca, menulis, berhitung, dan menggambar. Walaupun sekolah-sekolah yang didirikan kebanyakan masih berada di pelosok hutan, tenaga pengajarnya yang masih sedikit, dan peralatan yang digunakan oleh para pendidiknya masih sederhana. Melihat kondisi tersebut, yaitu tempat untuk belajar yang masih berada di pelosok hutan, para pengajarnya hanya mengajar seminggu cuma beberapa kali, atau bahkan tidak sama sekali.


Suku Anak Dalam Di Tengah Arus Globalisasi
Lain dulu lain sekarang nampaknya ini yang berlaku pada Suku Anak Dalam di provinsi Jambi .seperti halnya Orang Terang maka Suku Anak Dalam yang hidup dalam hutan tidak luput dari pengaruh globalisasi. Paling tidak 3 bentuk globalisasi yang melanda kehidupan warga Suku Anak Dalam yakni globalisasi ekonomi, politik dan kebudayaan.
Pertama, globalisasi dibidang ekonomi melalui UU No/ 5 Tahun 1967 tentang ketentuan Pokok-pokok Kehutanan dan PP Nomor 21 Tahun 1970 telah merubah sistim pengelolaan hutan termasuk di Jambi. Pemerintah Pusat berdasarkan pada undsang-undang tentang ketentuan pokok Kehutanan ini mulai mengundang pengusaha Hak Pengusaha Hutan (HPH) untuk menjadi penebang kayu di hutan pedalaman Jambi. Mereka diberikan HGU untuk mengelolah hutan-hutan di Jambi . inilah awal hutan Jambi berpindah pemilik dari masyarakat adat kepada pengelolah HPH.
Kedua, Globalisasi di bidang politik berlangsung setelah pemerintah pusat menyatakan berlakunya Undang-undang Nomar 5 Thun 1979 Tentang Pemerintah desa dan Kelurahan, Undang-undang ini menghapus otonomi Marga ,kampong, mendapo dan dusun di provinsi Jambi.

Ketiga, Globalisasi kebudayaan terjadi melalui kebijakan pemerintah menetapkan 3 kategori masyarakat terasing yakni kategori kelana, setengah kelana,dan menetap sementara kemudian menetapkan pendekakan Ex-situ dengan Type Pemukiman Baru (TPB).Dampak ketiga globalisasi diatas terhadap penghidupan dan kehihupan Suku Anak Dalam di provinsi Jambi sangat luar biasa. Mereka tidak punya pilihan kecuali menerima perubahan tersebut sambil merasakan dampak negatifnya antaralain adalah sebagai berikut:Menurunkan kualitas hidup Suku Anak Dalam (miskin Total)Hukum Pertanahan Adat ( semcam hak ulayat) Suku Anak Dalam berupa Hutan dan Tanah dikuasai oleh pengusaha HPH melalui HGU ( Hak Guna Usaha)Suku Anak Dalam Kehilangan Sumber mata pencaharian tradisionalnya berupa tumbuhan buah-buahan , tunbuhan kramat, umbian dan hewan buruan.Sebagian dari kelompok Suku Anak Dalam mencoba hidup berdusun melalui proyek pemukiman pemerintah dan sebagian lagi memilih tetap bertahan hidup di hutan –hutan sisa HPH dan HTI.Sebagai dampak dari derasnya pembngunan dewsa ini corak dari kehidupan tradisional Suku Anak Dalam di provinsi Jambi telah banyak mengalami perubahan. Perubahan tersebut terjadi dari berbagai aspek kehidupan social, budaya,ekonomi dll tanpa dibaregi dengan kesiapan SDM untuk menerimanya.sehingga semkin hari kehidupan Suku Anak dalam semakin terdesak dan tertinggal oleh kehidupan di sekitarnya. Akhirnya mereka tidak punya pilihan selain menerima kenyataan hidup yang ada.





BAB III
KESIMPULAN
Suku Anak Dalam yang mempunyai nama lain Suku Kubu dan Orang Rimba, hidup di kawasan pulau Sumatera bagian tengah yang tercakup dalam wilayah administratif provinsi Jambi. Suku anak dalam banyak terdapat di Taman Nasional Bunit Dua Belas, dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Hutan adalah ruang hidup Suku Anak Dalam. Hutan merupakan rumah, sumber penghidupan dan perlindungan bagi Suku Anak Dalam. Gaya hidup suku anak dalam masih tradisional. Mereka masih berburu, memungut, dan meramu hasil hutan. Tapi ada juga sebagian kecil dari mereka telah berladang.
Di era modernisasi, dan globalisasi sekarang ini, banyak segi kehidupan suku anak dalam yang terpengaruh, mulai dari segi ekonomi, segi budaya, segi pendidikan, dan segi adat. Ada dampak positif dan negative dari modernisasi bagi suku anak dalam, salah satu segi positifnya adalah kehidupan suku anak dalam sudah mulai mengenal peradaban dan mulai tersentuh oleh pendidikan, dan segi negative yang paling berpengaruh adalah berkurangnya lahan tempat mereka hidup dikarenakan karena banyak ditebangnya pohon-pohon di dalam hutan tempat suku anak dalam tinggal.




Karena tata bahasa besar kesamaan antara bahasa Minangkabau dan malay, ada beberapa kontroversi mengenai hubungan antara keduanya. Some see Minangkabau as a dialect of Malay, while others think of Minangkabau as a proper (Malay) language. Beberapa melihat Minangkabau sebagai suatu dialek dari malay, sementara yang lain menganggap Minangkabau sebagai yang layak (Malay) bahasa.









DAFTAR PUSTAKA
• Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam (Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi
• Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung
• http://arfaangel.blogspot.com/2008/07/asal-usul-dan-sejarah-suku-anak-dalam.html
• http://www.mamas86.com/prop-jambi/suku-anak-dalam-jambi-suku-kubu/
• http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kubu
• http://tradisilisan.blogspot.com/2008/02/seloka-adat-suku-anak-dalam.html

ayo sharing yang berhubungan dengan sosiologi

| | Comments: (1)
bagaimana menurut kalian tentang kehidupan masyrakat pinggiran?